Komunitas di bantaran Kali Adem, telah lama didampingi oleh Andy
Wiyanto, yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum IMM Tangerang
Selatan. Permukiman yang ada di bantaran Kali Adem, Muara Angke adalah
permukiman yang dianggap ilegal. Hal ini karena bermukim di pinggir kali
sendiri merupakan sebuah tindakan yang ilegal dan berbahaya. Selain
itu, di bulan Oktober 2003, permukiman ini pernah mendapatkan
penggusuran. Atas penggusuran tersebut, pemerintah telah menyediakan
kompensasi berupa relokasi ke rumah susun dan sebuah permukiman nelayan
di Indramayu. Mereka yang hari ini bermukim di Bantaran Kali Adem,
adalah mereka yang tadinya direlokasi ke Indramayu. Proses relokasi ke
Indramayu adalah hasil perundingan dan atas persetujuan warga
masyarakat. Sayangnya, kebijakan melakukan relokasi ini belakangan
diketahui tidak tepat karena tidak memperhatikan sumber pendapatan
masyarakat. Program relokasi, lupa memperhitungkan peran perempuan yang
sebelumnya selalu menjadi pencari nafkah utama dengan bekerja di sektor
informal sebagai buruh cuci, pembantu rumah tangga, pelayan restoran,
ataupun pemulung. Sementara para lelaki yang bekerja sebagai nelayan,
hanya pada waktu-waktu tertentu saja menghasilkan pendapatan. Dengan
dipindahkan ke Indramayu, kelompok perempuan kehilangan pekerjaannya dan
rumah tangga mereka pun kehilangan nafkah.
Keadaan tersebut memicu orang-orang tersebut untuk kembali ke Kali Adem dan bermukim kembali di tempat yang dulunya digusur. Pengalaman mereka digusur dan berhasil bernegosiasi, memberi mereka pelajaran bahwa berkelompok dan mengorganisasi masyarakat adalah hal yang penting dan akan bermanfaat untuk mengatasi masalah. Oleh karena itu, mereka membentuk kelompok secara swadaya yang ketika itu didampingi oleh LBH Masyarakat tempat Andy Wiyanto bekerja. Keberadaan kelompok ini menjadi pengayom bagi masyarakat yang tidak memiliki KTP dan seringkali tidak diakui eksistensinya di dalam masyarakat. Kelompok ini sekarang mampu melakukan beberapa tindakan lebih, antara lain dengan mengorganisir dilakukannya kredit mikro yang memanfaatkan tabungan dari uang iuran masyarakat. Kredit mikro ini masih dikelola dengan cara tradisional dan mengandalkan kearifan lokal.
Keberadaan kelompok, membuat masyarakat ini mampu berkomunikasi dengan perangkat-perangkat pemerintahan setempat (RT/RW). Hasil komunikasi ini membuat masyarakat berhasil memperjuangkan diri untuk menjadi pemilih dalam Pemilu 2009 lalu. Bahkan karena jumlah pemilih bisa menjadi 300 pemilih, ketika itu dibuatkan 1 (satu) Tempat Pemungutan Suara (TPS) sendiri untuk seluruh warga bantaran Kali Adem. Diberikannya hak pilih, secara tidak langsung negara mengakui eksistensi mereka sebagai warga negara. Oleh karenanya, hal ini akan menjadi modal untuk menuntut pengakuan lebih jauh lagi dari pemerintah akan keberadaan mereka di bermukim di bantaran kali.
Mimpi mendapat pengakuan ini, tak bisa dilepaskan dari perlakuan yang sering mereka alami selama ini. Ketika pemerintah banyak mengeluarkan dana untuk program bagi masyarakat miskin, seperti Raskin, Askeskin, pembagian kompor gas gratis, dan lain-lainnya, mereka seringkali tidak mendapatkannya. Hal ini hanya semata-mata karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Keberadaan kelompok swadaya masyarakat tersebut, serta pengalaman untuk memperjuangkan hak pilih mereka adalah bukti bahwa masyarakat telah melakukan berbagai upaya (potensi) untuk pemberdayaan dirinya. Dengan adanya kelompok ini, kekerabatan dan partisipasi di antara warga terlembaga dengan baik dan memudahkan untuk dilakukan pemberdayaan.
Di Kali Adem, masyarakatnya memiliki potensi besar berupa pengakuan sebagai pemilih dalam Pemilu 2009. Oleh karena itu, mereka haruslah mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang kenapa diadakan pemilu dan kenapa rakyat diharapkan berpartisipasi dalam pemilu serta apa manfaat pemilu dalam sistem ketatanegaraan. Hal lain yang mutlak diberitahukan adalah manfaat pemilu bagi masyarakat secara administratif dianggap sebagai masyarakat ilegal. Lebih jauh dari itu, masyarakat di Kali Adem sebagai masyarakat yang selama ini menjadi penonton atas kebijakan pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat haruslah mendapat pengetahuan tentang arti dan peranan dari kartu identitas, serta substansi kartu identitas tersebut dalam implementasi kebijakan pemerintah. Kalau mereka tidak memiliki kartu identitas tersebut, bagaimana caranya mereka dapat berpartisipasi sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah dapat bermanfaat bagi mereka. *fastabiqul khairaat...
Keadaan tersebut memicu orang-orang tersebut untuk kembali ke Kali Adem dan bermukim kembali di tempat yang dulunya digusur. Pengalaman mereka digusur dan berhasil bernegosiasi, memberi mereka pelajaran bahwa berkelompok dan mengorganisasi masyarakat adalah hal yang penting dan akan bermanfaat untuk mengatasi masalah. Oleh karena itu, mereka membentuk kelompok secara swadaya yang ketika itu didampingi oleh LBH Masyarakat tempat Andy Wiyanto bekerja. Keberadaan kelompok ini menjadi pengayom bagi masyarakat yang tidak memiliki KTP dan seringkali tidak diakui eksistensinya di dalam masyarakat. Kelompok ini sekarang mampu melakukan beberapa tindakan lebih, antara lain dengan mengorganisir dilakukannya kredit mikro yang memanfaatkan tabungan dari uang iuran masyarakat. Kredit mikro ini masih dikelola dengan cara tradisional dan mengandalkan kearifan lokal.
Keberadaan kelompok, membuat masyarakat ini mampu berkomunikasi dengan perangkat-perangkat pemerintahan setempat (RT/RW). Hasil komunikasi ini membuat masyarakat berhasil memperjuangkan diri untuk menjadi pemilih dalam Pemilu 2009 lalu. Bahkan karena jumlah pemilih bisa menjadi 300 pemilih, ketika itu dibuatkan 1 (satu) Tempat Pemungutan Suara (TPS) sendiri untuk seluruh warga bantaran Kali Adem. Diberikannya hak pilih, secara tidak langsung negara mengakui eksistensi mereka sebagai warga negara. Oleh karenanya, hal ini akan menjadi modal untuk menuntut pengakuan lebih jauh lagi dari pemerintah akan keberadaan mereka di bermukim di bantaran kali.
Mimpi mendapat pengakuan ini, tak bisa dilepaskan dari perlakuan yang sering mereka alami selama ini. Ketika pemerintah banyak mengeluarkan dana untuk program bagi masyarakat miskin, seperti Raskin, Askeskin, pembagian kompor gas gratis, dan lain-lainnya, mereka seringkali tidak mendapatkannya. Hal ini hanya semata-mata karena mereka tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Keberadaan kelompok swadaya masyarakat tersebut, serta pengalaman untuk memperjuangkan hak pilih mereka adalah bukti bahwa masyarakat telah melakukan berbagai upaya (potensi) untuk pemberdayaan dirinya. Dengan adanya kelompok ini, kekerabatan dan partisipasi di antara warga terlembaga dengan baik dan memudahkan untuk dilakukan pemberdayaan.
Di Kali Adem, masyarakatnya memiliki potensi besar berupa pengakuan sebagai pemilih dalam Pemilu 2009. Oleh karena itu, mereka haruslah mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang kenapa diadakan pemilu dan kenapa rakyat diharapkan berpartisipasi dalam pemilu serta apa manfaat pemilu dalam sistem ketatanegaraan. Hal lain yang mutlak diberitahukan adalah manfaat pemilu bagi masyarakat secara administratif dianggap sebagai masyarakat ilegal. Lebih jauh dari itu, masyarakat di Kali Adem sebagai masyarakat yang selama ini menjadi penonton atas kebijakan pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat haruslah mendapat pengetahuan tentang arti dan peranan dari kartu identitas, serta substansi kartu identitas tersebut dalam implementasi kebijakan pemerintah. Kalau mereka tidak memiliki kartu identitas tersebut, bagaimana caranya mereka dapat berpartisipasi sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah dapat bermanfaat bagi mereka. *fastabiqul khairaat...