Oleh
: Hafiz Sholahudin
Judul
tulisan ini bukan bermaksud untuk mengkampanyekan praktek poligami yang
dilakukan oleh beberapa orang yang bahkan tidak segan-segan untuk membuat satu
komunitas sendiri beranggotakan para pasangan poligami. Tulisan ini bermaksud
mengupas persoalan yang saat ini muncul di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum
UNS, terkait dengan isu dikotomi antara organisasi intra dan ekstra kampus.
Di
beberapa kampus, dikotomi organisasi intra dan ekstra kampus tidak jarang
memunculkan gesekan-gesekan yang berujung pada baku hantam antara kedua pihak.
Baik organisasi intra maupun ekstra kampus, sama-sama mendiskreditkan pihak
yang tidak menjadi bagian dari mereka.Tidak ada salahnya memang jika kita
mendikotomikan antara organisasi intra dan ekstra kampus karena pada realitanya
kedua tipe organisasi tersebut memang berbeda, walaupun dalam beberapa hal
terdapat kesamaan. Karena yang patut dipersalahkan sebetulnya ialah penyikapan
atas perbedaan yang ada.Perbedaan diantara keduanya terletak pada keterikatan
dengan pihak kampus. Berbeda organisasi intra kampus yang begitu terikat dengan
birokrat kampus, organisasi ekstra kampus berdiri independen tanpa terikat
dengan birokrat kampus.
Biasanya,
organisasi intra kampus, karena merasa bahwa kampus merupakan ”rumah” mereka,
maka sebisa mungkin peluang bagi organisasi ekstra kampus untuk ikut mewarnai
dinamika kampus ditutup serapat-rapatnya. Tidak jarang usaha-usaha untuk
mendiskreditkan organisasi ekstra kampus pun dilancarkan oleh para empunya
kampus tersebut. Merasa ruang geraknya dibatasi, organisasi ekstra kampus pun
tidak kehilangan akal. Berbagai macam celah pun berusaha mereka temukan agar
dapat ikut mewarnai dinamika kampus yang sedang berkembang. Kreativitas mereka
dalam bergerak semakin diuji ketika muncul SK DIRJEN DIKTI Nomor
26/DIKTI/Kep/2002 tentang pelarangan organisasi ekstra kampus atau partai
politik dalam kehidupan kampus. SK tersebut berisi bahwa melarang segala bentuk
Organisasi Ekstra Kampus dan Partai Politik membuka sekretariat (perwakilan)
dan atau melakukan aktivitas politik praktis di dalam kampus. Dengan
bersenjatakan SK DIRJEN DIKTI ini, beberapa organisasi intra kampus coba
menghalau pergerakan organisasi ekstra kampus di dalam ”rumah” mereka. Mereka
menafsirkan bahwa organisasi ekstra kampus dilarang beraktivitas apapun di
dalam kampus. Padahal jika kita jeli, yang dilarang dari SK DIRJEN DIKTI
tersebut hanya melarang pendirian sekretariat dan aktivitas politik praktis.
Kepentingan
Politik
Ada
beberapa kalangan intra kampus yang menolak infiltrasi organisasi ekstra ke
dalam kampus mereka karena alasan bahwa organisasi ekstra kampus memiliki
kepentingan politik. Pertanyaan yang muncul ialah apakah gerakan mahasiswa,
baik intra maupun ekstra kampus, bebas dari kepentingan politik?
Saya
pikir, baik intra maupun ekstra kampus, tidak terbebas dari kepentingan
politik. Karena pada dasarnya, menurut Aristoteles, manusia adalah Zoon
Politicon, yaitu makhluk yang berpolitik. Hanya saja, gerakan politik yang
diusung oleh gerakan mahasiswa bukanlah gerakan politik kekuasaan (Power
Political Movement) yang merupakan fungsi dasar partai politik dimana penetapan
agenda dan target politik maupun pemilahan lawan dan kawan politik semata-mata
sebagai urusan taktis dan strategis untuk memperkuat dan mengukuhkan posisi
politiknya dalam percaturan kekuasaan sekarang dan di masa depan. Gerakan
politik mahasiswa lebih pada gerakan politik nilai (Values Political Movement).
Mahasiswa dituntut untuk memperjuangkan nilai-nilai (Values) atau sistem nilai
(Values System) yang sifatnya universal seperti keadilan sosial, kebebasan,
kemanusiaan, demokrasi, kepedulian kepada rakyat tertindas.
Sinergisitas
Gerakan
Berangkat
dari tuntutan tersebut, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa menghindarkan
diri dari jebakan dan manipulasi kepentingan elite maupun partai politik
tertentu. Jika gerakan mahasiswa sudah terjebak pada agenda politik kalangan
elite tertentu, maka kepada siapa lagi rakyat akan berharap jika para pengusung
politik nilai saja sudah menggadaikan idealismenya?
Selain
itu, dikotomi yang ada antara organisasi intra dan ekstra kampus, biarlah itu
menjadi kondisi obyektif dari gerakan mahasiswa. Jangan sampai dikotomi
diantara keduanya dijadikan alasan untuk saling menganggap musuh antara gerakan
mahasiswa. Karena yang terjadi saat ini mengarah pada hal tersebut. Gerakan
mahasiswa sekarang berbeda dengan gerakan mahasiswa pada zaman-zaman perjuangan
melawan tirani rezim Orba. Mahasiswa, baik yang berasal dari intra maupun
ekstra kampus, saling bersinergis melakukan sebuah gerakan bersama untuk
melawan setiap tindakan represif yang dilakukan oleh rezim saat itu. Hingga
pada puncaknya, gerakan mahasiswa dapat memetik buah manis dari perjuangan yang
mereka lakukan dengan ditandai turunnya Soeharto.
Mahasiswa
yang mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan di bangku kuliah, dituntut
tidak hanya melulu memikirkan hal-hal yang bersifat akademis saja, tetapi juga
diharapkan mampu menjadi tempat harapan bagi rakyat tertindas. Untuk itu, perlu
kita rapatkan barisan gerakan mahasiswa ini. Jangan posisikan diri kita menjadi
tersekat-sekat dalam ruang sempit yang sebetulnya itu hanya akan membinasakan
kita sendiri. Baik organisasi intra maupun ekstra kampus sama-sama memiliki
peran penting dalam gerakan mahasiswa. Mengapa kita tidak ”mengawini” atau
menerima keduanya? Kecuali jika kita sebagai mahasiswa justru ingin memperlemah
gerakan mahasiswa yang membawa nilai-nilai universal ini, maka wajar jika kita
masih saja memposisikan organisasi intra versus organisasi ekstra kampus.